Oleh: Dr. Felicia N. Utorodewo
(Praktisi pendidikan dan pelatih bahasa Indonesia)
Pada tanggal 17 Agustus 2022, Badan Bahasa mengeluarkan buku elektronik berjudul Ejaan yang Disempurnakan V (EYD 5). Buku tersebut berisikan pedoman bagi para pengguna bahasa Indonesia untuk menggunakan ejaan dan tanda baca dengan tepat dan benar. Pedoman itu berlaku untuk penggunaan bahasa tulis karena ejaan dan tanda baca merupakan cerminan dari bahasa lisan ke dalam bahasa tulis. Artinya, jika berbicara, kita akan menggunakan intonasi dan gerak-gerik/kinestetik tubuh untuk membuat ujaran kita jelas bagi khalayak sasaran kita. Namun, jika wacana disajikan dalam bentuk tulis, intonasi dan gerak-gerik itu harus dimarkahi secara tertulis. Pemarkahan itulah yang tertuang dalam EYD V.
Sebuah pedoman selalu bersifat dinamis. Pedoman, apalagi pedoman bahasa, akan mengalami penyesuaian seiring dengan perubahan bahasa yang terjadi. Artinya, secara berkala akan ada perubahan pada pedoman tersebut. Hal itulah yang menjelaskan mengapa terbitan terbaru diberi judul EYD V. Secara implisit atau terselubung, pedoman yang berkaitan dengan ejaan dan tanda baca bahasa Indonesia sudah mengalami penyesuaian sebanyak 5 kali. Penyesuaian ejaan bahasa Indonesia mengalami sejarah yang panjang sejak perkembangan bahasa Melayu Kuno pada abad ke-13. Namun, pedoman ejaan yang berkaitan dengan Pedoman Ejaan Yang Disempurnakan baru dilakukan berabad-abad kemudian.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Pemerintah Belanda merasakan kepentingan penyempurnaan sistem ejaan bahasa Melayu ke dalam huruf Latin. Pada tahun 1901, Ch. A. van Ophuijsen menjadi peneliti yang menetapkan suatu sistem ejaan baru bagi bahasa Melayu. Sistem ejaan itu diterbitkan dalam bukunya Kitab Logat Melajoe: Wordenlijst Voor de Spelling der Malische Taal met Latijnsch Karakter (1901). Istilah populer yang digunakan sebagai nama pedoman itu adalah Ejaan van Ophuijsen. Pedoman pertama itu berlaku hingga masa kemerdekaan Indonesia (1945). Pada saat itu, sejak tahun 1928 saat Sumpah Pemuda nama bahasa Indonesia sudah mengemuka. Namun, para pemakai dan ahli bahasa merasa perlu untuk menyempurnakan lebih lanjut Ejaan van Ophuijsen.
Kepentingan untuk menyempurnakan kaidah ejaan sudah mengemuka pada tahun 1938 di Solo saat Kongres Bahasa Indonesia I. Namun, pedoman itu baru terwujud pada 15 April 1947 dalam sebuah Putusan Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan. Ejaan tahun 1947 itu lebih terkenal dengan nama Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik. Perubahan yang amat terasa ada dua hal. Pertama adalah penulisan bunyi /u/ dari dua huruf oe menjadi satu huruf u. Kedua adalah penggunaan huruf k sebagai lambang bunyi konsonan glotal. Pada awalnya, bunyi glotal itu dilambangkan dengan tanda diakritik berupa tanda kutip tunggal (‘).
Ejaan Soewandi ini menimbulkan berbagai reaksi sehingga timbul keinginan untuk menyempurnakannya kembali. Dalam Kongres Bahasa Indonesia II (1954) diputuskan untuk menyempurnakan kembali ejaan bahasa Indonesia dengan kisi-kisi sebagai berikut, (1) Ejaan sedapat-dapatnya menggambarkan satu fonem (bunyi bahasa yang membedakan makna) dengan satu huruf. (2) Penetapan ejaan hendaknya dilakukan oleh suatu badan yang kompeten. (3) Ejaan hendaknya praktis, tetapi ilmiah. Pedoman ejaan itu dikenal dengan nama Ejaan Pembaharuan (1957). Namun pedoman ejaan ini tidak sempat diterapkan karena ada perkembangan baru yang mempengaruhi perkembangan ejaan bahasa Indonesia.
Perkembangan baru ini ialah kesepakatan antara Republik Indonesia dan Persekutuan Tanah Melaju. Bersama, kedua pemerintah ini menghasilkan suatu konsep ejaan bersama dengan nama Ejaan Melindo (Ejaan Melayu-Indonesia). Namun, ejaan ini tidak sempat terwujud karena timbulnya konfrontasi anatara Indonesia dan Malaysia.
Pada tahun 1966, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mengusulkan konsep baru untuk menggantikan Ejaan Melindo itu. Melalui banyak rapat rembukan bersama dengan pemerintah Malaysia, pada akhirnya, disepakati pedoman ejaan yang baru pada tahun 1972. Pedoman ejaan tersebut terkenal dengan nama Pedoman Ejaan yang Disempurnakan (PEYD). Pedoman inilah yang menjadi cikal bakal penamaan pedoman ejaan beredisi.
Berturut-turut setelah itu, perubahan nama, edisi, dan kaidah dilakukan sesuai dengan perkembangan bahasa Indonesia seperti dalam tabel berikut.
Tahun | Peraturan | Nama | Edisi |
1975 | Keputusan Mendikbud tgl. 27 Agustus 1975 No. 0196/U/1975 | Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah | 1 |
1987 | Keputusan Mendikbud No. 0543a/U/1097 | Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan | 2 |
2009 | Peraturan Mendikbud No. 46 Thn 2009 | Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan | 3 |
2015 | Peraturan Mendikbud No. 50 Thn 2015 | Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia | 4 |
2022 | Keputusan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia No.0424/I/BS.00.01/2022 | Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan Edisi Kelima | 5 |
Membaca sejarah dan perkembangan pedoman ejaan yang telah diuraikan, hal yang seharusnya diperhatikan dalam penggunaan pedoman adalah kemutakhiran pedoman. Pengguna bahasa tidak perlu menganalisis perbedaan atau kekurangan edisi sebelumnya. Pedoman yang mutakhir pasti merupakan penyempurnaan dari edisi sebelumnya. Sebaiknya, pengguna bahasa dan pemerhati bahasa selalu memiliki edisi terakhir dari pedoman. Berfokuslah kepada pedoman yang mutakhir. Keperluan praktis tidak memerlukan analisis linguistik, melainkan cukup dengan mempelajari peraturan mutakhir yang berlaku.