Orang tua ingin anak-anak berhasil. Orang tua juga mengharapkan anak-anak yang bahagia, sehat, dan sukses yang berkembang menjadi dewasa. Namun, bagaimana cara orang tua menanamkan nilai-nilai dan kekuatan karakter kepada anaknya sering kali terasa misterius. Apakah cara penanaman itu melalui disiplin, dengan cara menjalankan nilai-nilai yang kita anut, memperlakukan anak-anak dengan rasa hormat, atau kombinasi dari berbagai cara yang orang tua lakukan saat berinteraksi dengan anak?
Nilai-nilai keluarga merupakan cerminan dari diri kita dan bagaimana kita berperan sebagai orang tua. Ketika kita mengujarkan dan menjalankan nilai-nilai itu, anak-anak akan memperoleh pelajaran hidup. Mereka belajar mengekspresikan diri, memecahkan masalah, mengambil hikmah dari kesalahan, dan mengembangkan keterampilan dan kemampuan lain yang mengarah pada pemenuhan kehidupan. Orang tua juga turut belajar.
Penelitian menunjukkan bahwa ketika orang tua, kakek nenek, guru, dan mentor lainnya mendampingi dan mengarahkan anak, mereka juga membantu anak menjadi pahlawan bagi diri mereka sendiri. Ketika berbagi cerita tentang kehidupan mereka yang berfokus pada perjuangan batiniah, orang tua, kakek nenek, guru, dan mentor lainnya membantu anak memahami pentingnya perjalanan kejiwaan dan batiniah.
Ilmuwan sosial telah mempelajari bagaimana orang dewasa mempengaruhi generasi berikutnya dengan cara positif. Mereka menemukan tema yang menarik dalam cerita-cerita para orang dewasa. Kisah yang mereka ceritakan bertema:
– belajar melalui cara mereka mengatasi rintangan.
– belajar menyadari keberadaan diri mereka sendiri melalui penderitaan.
– belajar melihat bahwa kesulitan membuka jalan menuju kehidupan lebih baik.
– belajar melihat bahwa kesuksesan terletak pada perjalanannya, bukan pada hasilnya.
Dalam banyak hal, kisah-kisah ini mencerminkan tahapan dalam Hero’s Journey karya Joseph Campbell, sebuah templat yang mendasari sebagian besar kisah pahlawan. Dalam cerita mitologis, pahlawan wajib menghadapi tantangan yang sulit. Petualangan mereka dipenuhi dengan berbagai rintangan untuk diatasi. Mereka merasa bingung. Takut. Lumpuh secara emosional.
Apa yang terjadi selanjutnya? Dalam perjalanannya, para pahlawan itu selalu bertemu pemeran pembantu. Pemeran pembantu ini muncul sebagai orang bijak, panutan, dan mentor yang mendukung sang pahlawan. Pemeran pembantu meringankan penderitaan sang pahlawan, mendampingi sang pahlawan dalam menggali segi kejiwaannya untuk menemukan jawabannya. Pemeran pembantu mendorong sang pahlawan untuk berjuang, belajar dari kegagalan dan godaan.
Kisah-kisah mitos selalu berakhir dengan keberhasilan sang pahlawan dalam bertransformasi dan belajar secara mendalam—jenis pembelajaran yang diterapkan dalam petualangan kehidupan berikutnya. Kisah-kisah kepahlawanan ini telah digunakan untuk menginspirasi, memotivasi, dan mentransfer nilai-nilai budaya kepada anak-anak.
Kunci kepahlawanan adalah kepedulian terhadap orang lain yang membutuhkan—kepedulian untuk membela tujuan moral, mengetahui ada risiko pribadi, dilakukan tanpa mengharapkan imbalan. Dengan pemahaman tersebut, berikut ini akan diuraikan cara-cara membesarkan anak menjadi pahlawan daripada menjadi sekadar pengamat:
- Peliharalah imajinasi heroik anak. Orang tua perlu mengajak anak mempertimbangkan bagaimana para pahlawan memandang dunia. Sebagai langkah awal, para pahlawan memiliki sangat sadar akan hal-hal yang tidak benar. Mereka dengan cepat menangkap tanda yang menunjukkan bahwa seseorang berada dalam kesulitan—atau akan menghadapi kesulitan.
- Ajari anak-anak bahwa mereka memiliki kekuatan untuk menyelesaikan konflik. Konflik bukanlah sesuatu yang buruk kecuali jika kita tidak memiliki keterampilan yang tepat untuk menyelesaikannya. Untuk bertindak heroik, anak-anak perlu merasa yakin bahwa mereka memiliki keterampilan interpersonal yang cukup untuk mempertahankan hal yang mereka yakini. Untuk membantu anak memiliki kepercayaan diri yang baik, orang tua perlu mengajarkan pemecahan konflik, keberanian, dan pola berpikir berkembang yang positif.
- Perlihatkan kepedulian dan empati terhadap orang lain, sambil mengenyampingkan kepentingan pencapaian hasil.
- Kemukakan harapan bahwa anak-anak akan bertindak heroik. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak cenderung akan melakukan intervensi ketika melihat ada teman mereka yang dirundung jika mereka yakin bahwa orang tua dan teman-teman mereka akan mendukungnya saat membantu korban perundungan.
Semua orang dapat menjadi pahlawan. Semua orang dilahirkan dengan kemampuan luar biasa untuk menjadi apa pun dan semua orang dibentuk oleh lingkungan dan keadaannya—oleh keluarga atau budaya atau periode waktu tempat seseorang tumbuh dewasa.
Pada dasarnya, setiap orang berusaha untuk membangun kebiasaan social dari para pahlawan, untuk membangun fokus kepada orang lain, bergeser dari “aku” dan menuju “kita.” Sebagaimana puisi yang ditulis oleh penyair John Donne, “No man [or woman] is an island, entire of itself; every man is a piece of the continent, a part of the main;… any man’s death diminishes me, because I am involved in mankind. And therefore never send to know for whom the bell tolls; it tolls for thee.”
[Tiada manusia, laki-laki maupun perempuan, merupakan pulau yang menyendiri; setiap manusia merupakan bagian dari sebuah benua, bagian dari sesuatu yang utama; … kematian seseorang selalu mengurangi keberadaanku karena aku bagian dari umat manusia. Dan oleh karenanya, aku takpernah akan tahu untuk siapakah lonceng berdentang; mungkin dia berdentang bagimu.]
Sumber: https://www.rootsofaction.com/role-of-heroes-for-children/; https://www.rootsofaction.com/family-values/; https://www.rootsofaction.com/developing-character-strengths-a-vital-goal-of-education-part-2/; https://greatergood.berkeley.edu/article/item/how_to_raise_a_hero; https://greatergood.berkeley.edu/article/item/what_makes_a_hero
Alih bahasa: Aulia Nurdini
Editor: Dr. Felicia Nuradi Utorodewo, S.S.