Miliki Keberanian

Share

Pola asuh yang tepat menuntut agar orang tua membangun dan memelihara kepercayaan dalam diri anak-anaki. Jadi, kadang-kadang orang tua harus menantang dan memuji agar anak membangun keberanian mereka. Namun, apa sebenarnya yang membuat seseorang menjadi berani? Apa yang mendorong orang untuk menempuh bahaya, sementara orang lainnya melarikan diri? Lebih jauh lagi, apakah keberanian dapat dipelajari, ataukah merupakan sebuah bakat yang dilahirkan bersama anak? Keberanian berkaitan dengan pikiran, otak, dan hati. Keberanian timbul dari naluri, pelatihan, dan empati. Kini, ahli saraf, psikolog, dan peneliti lain sedang meneliti hal keberanian dan berusaha mengungkap misterinya.

Peran Otak Terhadap Rasa Takut

Dalam biologi dasar diketahui bahwa keberanian muncul dari pergulatan awal antara pusat pengambilan keputusan otak, korteks prefrontal, dan titik fokus rasa takut atau amigdala. Saat kita berada dalam situasi yang tak terduga dan berbahaya, amigdala akan mengirimkan sinyal ke korteks prefrontal yang akan mengganggu kemampuan orang untuk berpikir dengan jelas. Dalam kasus-kasus ekstrem, situasi itu “dapat melumpuhkan,” kata Daniela Schiller, seorang ilmuwan saraf di Fakultas Kedokteran Mount Sinai di New York.

Namun, orang yang berani tidak tunduk pada rasa takut. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan diperkuat oleh memori otot yang berasal dari latihan yang intensif. Tentara dari berbagai negara telah memahami prinsip ini sejak ribuan tahun yang lalu. Kamp-kamp pelatihan di seluruh dunia menanamkan dasar-dasar pertempuran dengan kuat ke otak calon tantama melalui pengulangan tanpa henti. Dengan begitu, ketika rasa takut yang kuat mematikan otak rasional seorang prajurit, dia masih dapat berfungsi secara autopilot.

Faktor Persahabatan

Sama-sama kuat, tetapi ada kualitas yang lebih mendasar yang memantik keberanian: naluri. Psikolog militer mengatakan bahwa naluri untuk melindungi orang yang kita cintai merupakan salah satu kekuatan paling besar yang memotivasi timbulnya keberanian dalam pertempuran: tentara tidak bertindak berani untuk memperoleh medali, melainkan untuk membela teman-teman mereka.

Keberanian di medan perang atau di tempat lain ditengarai berasal dari pelepasan oksitosin, hormon yang membantu memperkuat ikatan sosial, termasuk di dalamnya ikatan antara ibu menyusui dan bayinya. Beberapa percobaan telah menemukan bahwa oksitosin tampaknya juga mengurangi perasaan takut. Peneliti Peter Kirsch menempatkan subjek uji di mesin pemindai otak dan menunjukkan kepada mereka gambar yang menakutkan, seperti senjata dan wajah dengan ekspresi marah. Ketika Kirsch memberikan aroma oksitosin kepada subjek, terlihat bahwa keaktifan amigdala mereka berkurang secara signifikan. Demikian besar efek hormon sehingga para ahli sedang menyelidiki bagaimana cara mengubah oksitosin menjadi obat, pil keberanian, jika kita mau.

Pengalaman di Luar Tubuh

Ketakutan yang intens sebenarnya dapat memfasilitasi tindakan keberanian yang luar biasa karena sirkuit dalam otak memicu pelepasan hormon dan noradrenalin neurotransmitter, yang meniru efek amfetamin. Di bawah pengaruhnya, perhatian seseorang akan terfokus, dan waktu seakan melambat. Senyawa yang mirip dengan bahan aktif dalam kodein akan menghilangkan rasa nyeri, membuat orang-orang yang dalam bahaya yang ekstrem tidak menyadari bahwa tulang mereka patah. Kortisol yang dilepaskan ke dalam aliran darah memacu tubuh untuk memobilisasi simpanan energinya sehingga seseorang dapat bergerak dengan kecepatan dan kekuatan yang luar biasa dalam menghadapi bahaya.

Pengetahuan Adalah Kekuatan

Memahami lingkungan dan tugas yang sedang dihadapi menggambarkan juga kemampuan seseorang untuk bertindak berani. Psikolog menemukan bahwa rasa takut akan mereda saat orang percaya bahwa mereka menguasai ancaman yang dihadapi. Matius Desmond, seorang sosiolog Harvard dan mantan petugas pemadam kebakaran hutan, mengatakan, “Keberanian sebenarnya akan muncul jika bahwa kita mengenali bahaya yang terkandung dalam sebuah hal yang kita hadapi”. Untuk petugas pemadam kebakaran yang berpengalaman, perasaan bahwa kita dapat melakukan sesuatu dengan baik akan mengikis persepsi akan bahaya dan bersama dengan perasaan itu hilanglah rasa takut. “Pada awal menjadi pemadam kebakaran, seseorang akan kagum,” katanya. “Tetapi, begitu kita telah mengatasi seratus kebakaran, adrenalin akan menghilang.”

Sumber: http://www.rd.com/culture/what-makes-people-brave/

Alih bahasa: Aulia Nurdini
Editor: Dr. Felicia Nuradi Utorodewo, S.S.

You may also like...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *