
Oleh: Dr. Felicia N. Utorodewo
(Praktisi pendidikan dan pelatih bahasa Indonesia)
Kebutuhan akan bahasa persatuan sangat dirasakan pada masa perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan. Pada saat itu, para pemuda memerlukan bahasa untuk berkomunikasi dengan lancar. Mereka memerlukan bahasa yang digunakan dan dikuasai oleh para pemuda yang berasal dari berbagai daerah. Kebutuhan itulah yang mendorong pendeklarasian Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Dalam deklarasi itu, sekaligus tercakup keinginan untuk “menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”.
Pemilihan atas nama bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu telah melalui perdebatan yang sengit sejak Kongres Pemuda I, tahun 1926. Pada akhirnya, tahun 1928, nama bahasa Indonesialah yang terpilih. Tentu ada alasannya, yaitu
1) nama itu sesuai dengan nama bangsa dan negara yang juga akan dideklarasikan saat itu;
2) bahasa itu diangkat dari bahasa Melayu Pasar yang sudah digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai bahasa komunikasi (lingua franca) di dunia perdagangan dan media massa (surat kabar dan radio);
3) sesuai dengan asalnya, bahasa Melayu Pasar, bahasa itu digunakan untuk keperluan praktis yang menghubungkan berbagai kepulauan di Indonesia, sebagai bahasa perantara; dan
4) bahasa yang praktis tersebut bersifat egaliter, yaitu tidak memandang unggah-ungguh, semua penggunanya dianggap setara.
Butir nomor 4 itu menjadi sumber kekuatan pemersatuan bangsa Indonesia. Bahasa yang egaliter adalah bahasa yang memperlakukan para pembicara atau pengguna dalam derajat yang setara. Pada saat itu, sangat diperlukan bahasa yang bersifat egaliter untuk mempersatukan para pemuda yang berasal dari berbagai daerah dengan berbagai bahasa daerah. Dengan demikian, para pemuda dapat mengemukan pikirannya dengan lugas tanpa terhalang oleh unggah-ungguh bahasa.
Oleh karenanya, seharusnya, kita menggunakan bahasa Indonesia dalam hakikat aslinya. Bahasa pemersatu bangsa. Janganlah sifat budaya daerah dengan unggah-ungguhnya dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki sifat dan perilaku ketatabahasaan yang mandiri dan otonom. Situasi diglosia dalam bahasa Indonesia terjadi lebih pada ragamnya. Ada ragam formal dan nonformal, serta, di antaranya, ada ragam semiformal. Penggunaan ragam bahasa itu tidak bergantung pada unggah-ungguh bahasa, melainkan pada situasi penggunaan bahasa. Kesantunan dalam berbahasa terpelihara melalui susunan sintaktis (pembentukan kalimat) dan pilihan katanya.
Kesetaraan atau sifat egaliter itu terlihat pada penggunaan kata ganti orang. Dalam bahasa Indonesia, dengan kata ganti orang atau pronomina, tersedia kata-kata sebagai berikut.
TUNGGAL | JAMAK | |
Kata Ganti Orang Pertama | saya, aku | kami, kita |
Kata Ganti Orang Kedua | kamu, engkau, Anda | kalian, kamu sekalian |
Kata Ganti Orang Ketiga | dia, ia, beliau | Mereka |
Dalam perkembangan bahasa Indonesia, penggunaan kata ganti orang pertama tunggal (aku dan saya) mengalami pasang surut dan bersaing dalam penggunaannya. Hal ini terjadi karena sejarahnya.
Balai Pustaka pada awalnya dibangun oleh Belanda pada tahun 1908 dengan nama “Commise voor de Inlandshce School en Volklectuur”. Badan tersebut dibangun untuk mengawasi penerbitan dan media massa di Indonesia. Pada tanggal 22 September 1917, badan itu berubah nama menjadi Balai Pustaka. Pada masa itu dan seterusnya, Balai Pustaka menerbitkan banyak karya sastra Indonesia yg berbobot dari penulis yang juga berbobot. Pada masa itu pula, para penulis banyak yg berasal dari bagian barat Indonesia, seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kepulauan Riau. Kata ganti yang digunakan dalam karya sastra adalah aku dan engkau. Kedua kata itu, pada masa itu, dianggap sebagai kata ganti yang berbobot “sastra”. Bahkan, dalam golongan sastra yang “tinggi”. Kata ganti saya dan kamu merupakan kata ganti yang umum.
Pada masa orde baru, penggunaan kata aku dan saya mengalami perubahan karena intervensi bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa, yang mengenal unggah-ungguh, kata ganti aku dianggap kasar. Maka, terjadilah perubahan kecenderungan penggunaan kata ganti tersebut akibat contoh penggunaan bahasa oleh pemerintah masa itu. Kata ganti saya naik kelas dan naik daun karena dianggap lebih sopan dibandingkan kata ganti aku. Kata ganti aku boleh digunakan dalam situasi nonformal atau semiformal. Maka, kata ganti aku kehilangan pamornya sebagai bahasa sastra tinggi menjadi kata ganti nonformal, sedangkan kata ganti saya yang umum naik daun menjadi kata ganti yang formal. Akibatnya, dalam pengajaran bahasa, penggunaan kedua ganti itu harus disertai situasi penggunaan. Timbul pula ketidakselarasan penggunaan dengan bentuk klitiknya, -ku. Misalnya “Saya tidak bisa datang karena ayahku sakit”. Dalam konteks ini, kita harus memilih apakah mengganti klitik -ku dengan saya atau mengubah kata ganti saya dengan aku.
Pada masa sekarang, saat banyak sekali orang menulis di media sosial dan juga siswa dari berbagai tingkat pendidikan banyak menulis. Kata ganti aku mulai pansos kembali. Kata ganti aku, saya, kamu sering gunakan tanpa mempersoalkan unggah-ungguh. Kata-kata itu menjadi selaras dengan bentuk klitiknya –ku untuk aku, -mu untuk kamu. Lucunya, sementara ini, kata ganti engkau sedang kehilangan pamor. Orang mulai jarang menggunakannya. Sementara, klitik –kau masih muncul, meskipun jarang.
Semoga pembahasan ini dapat membuka pikiran kita untuk mempelajari kembali hakikat bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Rubrik ini dipersembahkan oleh:
