Setelah tenggelam dalam banyaknya tuntutan tugas sekolah, aktivitas pembelajaran, dan berbagai jenis komitmen, waktu tersisa yang bagi siswa untuk membaca novel dengan santai menjadi sangat terbatas. Betul, abad ke-21 ini menjanjikan dan sekaligus menuntut kemajuan dalam empat pilar kehidupan modern: sains, teknologi, rekayasa teknik, dan matematika. Tuntutan demi kepraktisan yang dianggap lebih penting secara perlahan-lahan mengenyampingkan novel dan buku cerita. Namun, di tengah-tengah aliran fakta, angka dan data, ada keuntungan yang tidak diragukan—juga kebahagiaan—yang hanya dapat ditemukan saat membaca fiksi.
Novel, apapun genre-nya, menempatkan pembaca dalam posisi yang perankan oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Pembaca menggunakan imajinasinya untuk membayangkan tokoh-tokoh cerita dan berinteraksi dengan mereka. Anak-anak yang membaca fiksi di usia belia, saat mereka sangat mudah dibentuk, akan memperoleh keberuntungan yang abadi. Bandingkan saja dengan anak yang pasif—yang terus-menerus menatap smartphone dan menelan informasi secara satu-arah—anak yang membaca fiksi sudah digiring untuk menjadi pembaca yang lebih aktif dengan ‘mengisi rumpang’ dari watak atau karakter yang dibaca dan mengandaikan para tokoh dalam benak mereka. Bahkan, menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Emory University tentang membaca fiksi, aktivitas membaca fiksi ini mengubah kemampuan konektivitas otak dan meningkatkan fungsi otak1. Dapat dilihat bahwa keadaan ini berbeda dari crystallized knowledge (pengetahuan yang sudah diakui berdasarkan percobaan atau pengalaman) yang mereka pelajari dari buku-buku sekolah.
Efek yang luar biasa dari membaca buku fiksi adalah bahwa aktivitas ini membuat pembacanya menjadi orang yang lebih berempati. Anak-anak belajar. Dengan berandai-andai sedang ‘berinteraksi’ dengan tokoh-tokoh dalam buku, anak-anak dapat merasakan emosi yang dialami oleh para tokoh. Setiap tokoh memiliki watak atau sifatnya masing-masing, anak-anak, para pembaca, secara perlahan, dapat membedakan satu tokoh dari tokoh yang lainnya. Kualitas empati pembaca ini menggugah sebuah tim peneliti untuk mengukur seberapa akurat seseorang dapat menentukan perasaan orang lain2. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah membaca karya fiksi, peserta tercatat memiliki kepekaan dan kesadaran akan emosi yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.
Pada era ini, saat empati serta pekaan terhadap sesama mulai berkurang3 dan persaingan kian menjadi-jadi, akan jauh lebih menguntungkan bagi siswa jika mereka mampu membangun hubungan perkawanan yang lebih baik di antara sesama teman. Kita semua sekarang sudah mengetahui bahwa membaca fiksi mendorong siswa untuk memahami perasaan masing-masing. Empati, pada dasarnya, adalah sifat utama manusia, yang selama jutaan tahun ini, membantu makhluk ini untuk bertahan hidup melawan semua hal yang telah dihadapkan oleh alam kepada penghuninya.
Membaca fiksi merupakan aktivitas yang menyenangkan yang dapat meningkatkan kemahiran berbahasa anak-anak. Ada cukup contoh dalam cerita fiksi dengan ungkapan tertentu—yang tidak mungkin diterapkan di luar konteks fiksi—yang kerap digunakan. Oleh karena itu, mari kita bantu anak-anak untuk kembali membaca buku J.K. Rowlings, Lewis Carrolls, Dickenses, Watiek Ideo, atau Arleen Alexandra dan mulai kembali membaca fiksi!
Sumber: [1] https://www.psychologytoday.com/blog/the-athletes-way/201401/reading-fiction-improves-brain-connectivity-and-function; 2 http://www.sciencemag.org/content/342/6156/377.abstract; 3 http://www.scientificamerican.com/article/what-me-care/
Alih bahasa: Aurelia Leona
Editor: Dr. Felicia Nuradi Utorodewo, S.S.