Cara Memotivasi Siswa (Bagian 2)

Share

Siswa kurang termotivasi- bagaimana cara membantu mereka?

Halaman ini ditulis dan disusun oleh Karin Kirk, SERC, dan berisi ringkasan penelitian motivasi dan referensi terkait.

Pengantar

Guru terkait erat dengan tingkat motivasi siswa mereka. Seorang siswa dapat tiba di kelas dengan tingkat motivasi tertentu. Namun, perilaku dan gaya guru sewaktu mengajar, struktur mata pelajaran, sifat penugasan, dan interaksi informal antara guru dan siswa, semuanya akan berpengaruh besar dalam membina motivasi siswa. Kita mungkin pernah mendengar keluhan, “Murid-muridku sangat tidak termotivasi!”. Kabar baiknya adalah bahwa, sebenarnya, ada banyak cara yang dapat dilakukan guru untuk mengubah keadaan tersebut.

“Penelitian menunjukkan bahwa praktik yang baik dalam mengajar sehari-hari dapat memberikan peluang yang lebih besar untuk melawan sikap apatis siswa daripada upaya khusus yang langsung menyerang motivasi.”

Berikan pilihan

Motivasi dapat meningkat ketika siswa merasa memiliki otonomi atau kemandirian dalam proses pembelajaran, dan motivasi itu akan menurun ketika siswa tidak punya suara dalam kelas. Pilihan yang diberikan kepada siswa dapat sesederhana membebaskan mereka memilih mitra lab atau memilih di antara beberapa alternatif atau pilihan tugas, atau lebih rumit sedikit, seperti “pengajaran kontrak”. Dalam “pengajaran kontrak”, siswa dapat menentukan skala penilaian mereka sendiri, tenggat waktu tugas, dan jenis tugas yang harus dilakukan. [Kurvink, 1993] [Reeve and Hyungshim, 2006] (Perkins 2002, GSA Abstract)

Seimbangkan tantangan

Kinerja terbaik siswa akan muncul ketika tingkat kesulitan tugas yang diterimanya berada sedikit di atas tingkat kemampuannya. Tugas yang terlalu mudah akan menimbulkan kebosanan. Selain itu, tugas yang mudah memberi kesan seakan tugas itu tidak penting dan juga akan timbul rasa seakan guru tidak percaya bahwa siswa mampu bekerja dengan lebih baik. Sebaliknya, tugas yang terlalu sulit akan menyebabkan siswa patah semangat dan merasa tidak mampu menyelesaikannya. Perasaan tidak mampu itu dapat merusak rasa percaya diri siswa, dan dapat menimbulkan kecemasan. Metode scaffolding atau perancah merupakan teknik pemelajaran dengan cara meningkatkan taraf kesulitan tugas secara bertahap setiap kali siswa sudah dapat menyelesaikan sebuah tugas yang kompleks. (Wang dan Han) (info lebih lanjut), [Margolis dan McCabe, 2006] [Adams, 1998]

Mencari panutan

Jika siswa dapat mengidentifikasikan diri mereka dengan seseorang yang menjadi panutan mereka, mereka akan lebih mudah melihat keterkaitan sebuah mata pelajaran dengan diri mereka. Sebagai contoh, Weins et al (2003) menemukan bahwa siswa perempuan lebih cenderung tertarik pada pengaruh positif dari guru yang disukainya dan akan menjadi salah satu faktor daya tarik untuk belajar sains. Dalam beberapa kasus, memang, guru dapat saja menjadi panutan. Namun, dalam kenyataannya, guru tidak selalu terpilih menjadi panutan semua siswa dalam kelas. Penyebabnya macam-macam, seperti adanya masalah perbedaan gender, usia, dan lingkaran sosial. Namun, sebenarnya, ada banyak orang yang dapat menjadi panutan, misalnya, pembicara tamu atau narasumber yang diundang oleh sekolah, sesama siswa sebaya atau kakak kelas yang berhasil dalam sebuah bidang (misalnya, menjuarai olimpiade sains, olimpiade matematika, lomba baca puisi, juara olah raga, juara desain, dan lain-lain).

Gunakan anak sebaya sebagai panutan

Siswa dapat belajar dengan melihat bahwa ada anak lain yang sebaya dengannya berhasil melaksanakan sebuah tugas. Dalam konteks ini, yang dimaksud sebagai anak sebaya adalah seseorang yang seumur dengan siswa yang dikaguminya dan dipujanya. Jadi, tidak harus teman sekelasnya. Anak sebaya tersebut dapat berasal dari kelompok yang sama dilihat dari jenis kelamin, etnis, lingkaran sosial, minat, tingkat pencapaian, pakaian, atau usia. [Margolis dan McCabe, 2006]

Membangun rasa kebersamaan

Kebutuhan mendasar manusia ialah rasa terhubung atau terkait dengan manusia lain. Di lingkungan akademis, penelitian menunjukkan bahwa siswa yang merasa ‘terlibat’, akan memiliki tingkat motivasi intrinsik dan kepercayaan diri akademis yang tinggi. Menurut para siswa, rasa kebersamaan mereka akan terbina oleh seorang instruktur yang memperlihatkan kehangatan dan keterbukaan, mendorong partisipasi siswa, antusias, ramah dan membantu, serta selalu terkelola dengan rapi dan siap sedia untuk kelas. [Freeman, Anderman and Jensen, 2007] [Anderman and Leake, 2005]

Gunakan gaya yang mendukung

Gaya mengajar yang mendukung yang membuka kemandirian siswa akan menumbuhkan minat, kesenangan, keterlibatan, dan kinerja siswa. Termasuk sebagai perilaku guru yang mendukung, antara lain, ialah mendengarkan, memberikan petunjuk dan dorongan, bersikap responsif terhadap pertanyaan siswa, dan menunjukkan empati kepada siswa. [Reeve dan Hyungshim, 2006]

Atur strategi bersama siswa yang sulit belajar

Ketika guru berhadapan dengan siswa yang berkinerja akademis rendah, memiliki kepercayaan diri (self-efficacy)[i] yang rendah atau motivasi yang rendah, salah satu strategi yang dapat membantu siswa adalah mengajarkan mereka cara untuk belajar. Artinya, guru menguraikan strategi khusus untuk menyelesaikan tugas, membuat catatan, atau mengkaji ujian. [Tuckerman 2003] [Margolis dan McCabe, 2006]

Strategi pembelajaran khusus:

Fase pra-tindakan (mempersiapkan tugas)—ambillah risiko yang masuk akal; bekerjalah dengan tujuan yang menantang, tetapi tetap mudah dicapai; bekerjalah sesuai dengan kemampuan dengan beban tugas yang sedang dipegang siswa; bertanggungjawablah atas segala tindakan; percayalah pada usaha dan kemampuan sendiri; serta tentukanlah rencana dan bekerjalah berdasarkan rencana tersebut.

Fase tindakan—carilah lingkungan yang tepat, ajukanlah pertanyaan, bayangkanlah dan gambarkanlah tindakan yang akan dilakukan.

Fase reaksi (setelah menyelesaikan sebuah tugas, mempersiapkanlah siswa untuk tugas berikutnya)—gunakan umpan balik dari tugas sebelumnya, pantaulah tindakannya sendiri, minta siswa memberikan instruksi pada diri sendiri (lihat juga Tuckerman, 2003)

(Tamat)


Sumber: https://serc.carleton.edu/NAGTWorkshops/affective/motivation.html

[i] Self-efficacy merupakan istilah yang pertama kali digunakan oleh Psikolog Albert Bandura (1986). Konsep ini berkaitan dengan kemampuan swapenilaian (penilaian mandiri). Menurut Bandura (1986), efikasi diri adalah kepercayaan seorang individu akan kemampuannya untuk sukses dalam melakukan sesuatu. Jadi, efikasi diri adalah suatu keyakinan atau kepercayaan diri individu mengenai kemampuannya untuk berorganisasi, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, menghasilkan sesuatu, dan mengimplementasi suatu tindakan untuk mencapai kecakapan tertentu. Ketika seseorang memiliki efikasi diri yang tinggi, berarti dia tahu bahwa dia mampu mengerjakan atau menyelesaikan suatu hal.

Alih bahasa: Aulia Nurdini
Editor: Dr. Felicia Nuradi Utorodewo, S.S.

You may also like...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *